Jumat, 10 Februari 2012

Awalku mengenal mimpi (udah di Edit dengan jasa Ikha)

Aku ingat masa dimana aku masih seorang gadis belia berusia belum genap 5 tahun. Aku hanya lah anak kecil yang tau bagaimana tertawa riang, menangis dan berlari kesana kemari dengan tawa lepas khas anak di usia itu. Aku belum mempunyai mimpi. Aku belum memiliki rencana apa-apa untuk waktu yang akan kulalui kedepan. Bahkan untuk sekedar tau apa itu mimpi dan masa depan pun aku belumlah mengerti, apalagi memikirkannya. Ya, yang aku tau aku memiliki keluarga, memiliki saudara dan semua hal biasa yang hadir disekelilingku. Semua berjalan begitu cepat hingga tanpa terasa aku sudah duduk di bangku kelas satu SD. Masih ku ingat dengan jelas akan masa itu, hari sabtu pagi yang belum terlalu terik, mungkin waktu itu jarum jam masih terhenti diangka 10 yang dipadu dengan angka 12. Aku berjalan gontai melewati lorong sekolah yang waktu itu aku rasa sangat lebar, mungkin karna tubuhku yang masih begitu mungil. Langkah kakiku begitu lemah, dengan raut wajah cemberut yang dipulas dengan bulir-bulir air yang mengenang perlahan dari pengamatku. Entah rasa apa yang waktu itu mengisi hatiku. Yang aku tau, pagi itu ada rasa tidak senang menyeruak di dada ini. Aku berlari hingga sampai di depan kedua kakakku. Masa itu aku masih lucu-lucunya. Berangkat sekolah dengan pita merah menggantung di kedua kucir rambut kiri dan kanakku. Indah sekali melihat kucir itu melompat riang mengiringi tiap langkah kecilku. Aku terdiam dipelukan kakak-kakakku. Mereka bingung sembari saling melontarkan pandang, kemudian meraka tersenyum ke arahku. Aku tak tau apa maksud senyum itu. Kakakku yang paling tua pun bertanya,"ica dek aa?kok anok se??caliak uni rapornyo", Kakakku menyapaku lembut, seperti apa yang biasa dia lakukan padaku. Tangisku pun pecah sudah. Dipangkuannya aku terisak. Kakakku yang kedua mengusap lebut rambutku, berusaha meredam tangisku. Seketika jalanan didepan gerbang sekolah mulai ramai dengan anak-anak yang berlarian ke arah ayah ibunya yang menunggu kedatangan putra putrinya dengan rapor yang tergegam erat di tangan masing-masing di antara mereka. Tawa riang teman-teman sebayaku sesama kelas satu terdengar jelas ditelingaku. Sontak, teman-teman sebaya kakakku pun mulai berkerubung ke arahku. Membentuk lingkaran, seperti itulah yang mereka lakukan. Aku bak artis dadakan di waktu itu. Semua pasang mata tertuju pada kami bertiga. Banyak tanya yang ditujukan kepada kakakku. Kakakku bingung harus menjawab apa. Karena sejujurnya dia pun juga belum paham sebab apa aku menangis. Teman sebangkuku, Yuli dari tadi setia mematung menunggu aku yang tengah menangis tanpa alasan. Kakak-kakakku hanya cengengesan menjawab tanya teman-temannya yang datang sambung menyambung dari mulut ke mulut. Tiba-tiba aku terdiam. Menghapus air mataku sendiri. Kemudian tersenyum kepada kedua kakakku, benar-benar aneh bocah yang pada waktu itu kerap disapa ica. Kedua kakakku pun tersenyum. Kemudian mereka bertanya, "ica dek aa??kok nangih?caliak uni rapornyo?". Aku enggan memperlihatkan rapor pertamaku, aku merasa malu karena tidak ada angka yang patut di lihat di raporku. Aku merasa bodoh saat aku melihat rapor temanku, Yuli. Ada angka bagus singgah di rapornya, angka yang ada dua bulat telur. Ya, angka delapan maksudku. Yuli begitu senang, raut wajahnya sangat ceria membuat aku semakin terenyuh dengan kenyataan bahwa tidak ada angka dua bulat telur bertumpuk di raporku. Jangankan dua bulat telur, satupun tak ku temui di lembar nilaiku itu. Masih dengan ragu serta berat hati aku memberikan rapor pertamaku sambil berucap,"ica nio angko lapan lo,,,tapi ica dak ado do,huhuhuhuhu", tangis ku mulai berderai lagi. Kakakku dengan cepat menyambar raporku, membuka lembaran hasil belajar triwulan pertamaku di SDN 17 Sungai Rotan. Tiba-tiba senyum merekah di wajah mereka, senyum yang manis sekali, hangat dan penuh semangat. Seolah ada tatapan bangga yang tersirat pada kedua bola mata mereka. Bagaimana bisa, dtengah sedihku tidak mendapat angka bulat telur, mereka tersenyum begitu hangat kepadaku. Aku mengernyitkan alisku, "ica dak ado dapek nilai do.ica nio lo dapek lapan''. Kakakku yang paling tua mendekat lalu dengan halus dia mengusap hangat kepala ku. Kemudian dia kembali membuka raporku, membuka lembar triwulan pertamaku. Ada angka satu disitu, angka lurus seperti tiang yang ada sedikit topi di puncaknya. Kakak ku berkata lembut,''Kok nangih lo ica, iko kan rancak angko ica ko, angko satu. Rancak pado angko lapan lai. Santiang adiak uni yo, ica dapek juara". Aku pun tertegun, terdiam dan kemudian berkata dengan polosnya,"iyo bana tu ni?ica dapek juara", Akupun tersenyum sumringah. Sebenarnya aku masih belum paham, tapi melihat senyum indah di sekitarku membuat aku bersemangat, seolah memperoleh energi ceria dari senyum-senyum tulus itu. Teman-teman kakakku pun tersenyum menggoda ke arahku. Tapi aku tetap hanya anak kelas satu SD yang baru empat bulan di bangku sekolah. Aku menggenggam tangan kedua kakakku, menarik mereka, tak sabar ingin segera tiba dirumah. Temanku, Yuli, aku tak ingat lagi dia dimana, benar-benar aneh aku di masa itu. Setibanya dirumah, papa dan mama sudah menunggu kedatangan ketiga putrinya diruang tamu rumah kami. Kakakku yang paling tua pun sumringah, tersenyum bangga kepada mama papa kami. "Ica juara satu pa”, ucapnya tak sabar untuk memberi tahu tentang apa yang adiknya dapatkan. Senyum terkembang jelas di raut wajah Mama Papaku, senyum bangga dan haru yang tertuju untukku. Mama papa langsung menyambutku, menggoda aku. Hari itu aku tau satu hal, bahwa aku bisa jadi juara. Juara yang bisa membuat saudara dan orang tuaku senang. Hari itu aku baru berpikir tentang hal yang sangat ingin aku dapatkan. Hal yang akan terus aku idamkan di triwulan-triwulan berikutnya. “Aku ingin jadi juara. Ya, aku ingin terus dapat juara”. Itulah kali pertama aku sadar akan mimpi. Mimpiku untuk terus menjadi juara. Benar-benar penutup hari yang indah sabtu itu. "Ica nio taruih dapek juara", batinku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar