Jumat, 24 Februari 2012

You--Me





You come I come...
You want to know me...
I try to know you...
You go far away..
I will not go or come...
You ask me something..
I ask you a thing...
You have questions..
I have answers...
You ask me to joint...
I joint...
You ask me to come..
I come....
You try to give me something good,,,,
I try to give the same...
You show me that you need me
I try to be with you
You keep silent...
I have no word...
I only will follow a thing that you start before...
Because that is a thing that I can..
If you go,,,,,I only have a question..."why??"..
 I will never ask you "why??"...
I only will save a sentence on my mind..
"Nice to meet you".....
" Nice to know a little thing about you"

Kamis, 16 Februari 2012

IDEALISME SAYA DI TANTANG

Dari tadi saya pulang wawancara, sangat menunggu saat dimana saya bisa berada didepan komputer, meluapkan ganjalan dihati dan pikiran saya. Okee..singkat saja. Sore ini saya baru saja melewati tahapan wawancara dalam sebuah rekruitmen staf sebuah organisasi. Saya tidak perlu membahas organisasi apa, saya hanya ingin membagi hal yang sampai saat ini mengganjal dikepala saya. Saya bingung ini apa, apakah saya takut? Apakah saya marah?Atau mungkinkah saya malu? Atau mungkin saya merasa terhina. Entah lah...meski sulit, saya akan tetap mencoba merangkai kata yang bisa menjelaskan perasaan saya saat ini.
Saya memasuki ruang wawancara, saya harus menghadapi tujuh orang pewawancara sekaligus. Saya dijejali banyak pertanyaan. Saya lupa pertanyaanya apa saja, tapi dari beberapa pertanyaan awal yang saya ingat ketika saya diminta untuk menyebutkan tiga kelebihan dan kekurangan saya. Jujur, saya memang bingung. Saya tidak tau harus menjawab apa. Banyak jeda yang saya butuhkan untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak hanya pewawancara saja saya sendiri bisa menyimpulkan bahwa saya tidak mengenal diri saya. Eh...bukannya tidak, tapi belum mengenal diri saya. Ini adalah masalah saya pertama yang menjadi catatan bagi saya sore ini. Saya sedih dengan keadaan saya sendiri yang belum mengenal siapa saya. Bagaimana mungkin saya bisa memahami orang lain sedangkan saya tidak memahami siapa saya sendiri. Saya harus mendapatkan jawaban tentang siapa saya secepatnya. Yaaa...ini perlu menjadi renungan. Wawancara terus berlansung hingga saya dihadapkan pertanyaan pilih mana antara kuliah dengan organisasi. Saya menjawab bahwa kuliah itu penting, dan organisasi menjadi menyempurna proses belajar saya itu. Bagian ini lah yang paling berkesan buat saya. Dimana saya seolah-olah salah jika saya memprioritaskan kuliah ditingkatan teratas apabila saya ingin sampai pada cita-cita saya sebagai seorang pengusaha. Saya didebat dibagian ini. Saya disajikan fakta-fakta tidak ada pengusaha yang pintar dalam pendidikannya. Saya setuju dengan keadaan itu. Memang dalam dunia usaha itu kemampuan akademik samata itu tidak menjamin, tapi saya memiliki idealisme untuk menyeimbangkan antara softskill dengan akademik. Bagi saya, keberhasilan dibidang akademik itu adalah sebuah kebutuhan. Hidup saya terasa lebih lengkap apabila saya memiliki pendidikan yang baik dan juga bisa mencapai kesuksesan saya dimasa depan saya. Saya memang memiliki target yang sangat tinggi. Saya ingin lulus sebagai cumlouder setelah menempuh pendidikan S1 selama empat tahun. Dari perdebatan tadi saya seoalh diberi penjelasan bahwa idealisme saya untuk menjadi seorang usahawan yang memiliki kemampuan akademik bagus itu adalah hal yang mendekati ketidak mungkinan. Saya harus memilih untuk total di organisasi atau total di kuliah saja. Sebab maksimal dikeduanya itu adalah hal yang tidak mungkin, apalagi dengan gambaran IPK saya semester awal ini tidak mencapai cumloud. Saya merasa ada sesuatu yang terlanggar dihati saya. Saya tepukul. Entah lah...........Mungkin disatu sisi saya merasa seolah-olah merasa bodoh terjebak dalam beberapa pertanyaan dalam wawancara tadi. Saya ngerasa adanya wujud ketidakkonsisten saya. Entah bakalan seperti apa mereka menilai saya....................saya bisa tau jawabannya. Tapi sebenarnya yang menjadi masalah bagi saya bukanlah bagaimana mereka berpendapat tentang saya, bukan bagaimana nantinya saya diterima atau ditolak. Tapi pertanyaan tentang identitas diri saya yang saya sendiri belum bisa dengan tegas menjelaskan tentang siapa saya yang membuat saya sedih. Hal ini lah yang membuat saya tercenung. Saya terdiam...kembali mengingat-ingat detail dari wawancara tadi. Pelajaran dari kejadian sore ini adalah, saya perlu tau siapa saya. Saya perlu menemukan identitas diri saya sebelum semuanya terlambat.Iyaa.........hari ini saya memang belum apa-apa. Tapi saya akan menjadi seseorang. Yaa...seseorang dengan prinsip dan konsistensi yang jelas. Saya tidak mau terjebak lebih dalam dalam keadaan seperti ini. Saya punya identitas dan saya bermutu sebagai seorang pemimpin dan usahawan yang juga seorang akademisi. Saya sempat menyalahkan idealisme saya, merasa bodoh dengan jawaban-jawaban saya di wawancara sore tadi. Tapi alhamdulillah dengan sangat cepat saya bisa menyadari bahwa peristiwa tadi sore telah mengingatkan saya secara jelas mengenai hal besar yang selama ini saya lupakan, yaitu tentang identitas,prinsip,dan konsep diri saya. Mungkin memang mereka akan beranggapan bahwa saya terlalu besar omong untuk bermimpi itu. Tapi saya tetap berkeyakinan bahwa inilah idealisme saya. Saya akan menjadi seorang pemimpin yang merupakan seorang akademisi yang sukses dalam usahanya. Dan saya akan buktikan bahwa saya bisa meraihnya. Saya akan berusaha, mungkin kedengarannya saya terlalu ambisius. Tapi munafik juga jika seorang pemimpi itu tidak ambisius. Ambisi yang membuat seseorang itu berani dan sanggup berjuang. Dan saya tidak perlu malu apabila di cap ambisius. Tapi terserahlah......hak mereka yang memandang serta menilai saya. Saya tetap ingin mencapai idealisme saya. Dan saya akan berusaha. Ini adalah hidup saya, dan ini adalah prinsip saya. Semoga ini momen baik yang diberikan Allah SWT yang sengaja dirancang ntuk menyadarkan saya tentang kelemahan besar saya. Yaaa....hari ini saya mendapatkan suatu hal yang sangat penting. Dimana pandangan saya yang selama ini kabur dan tidak tau tentang diri saya, sore ini memahami tentang kelemahan saya yang sangat besar. Saya juga mendapatkan debatan biasa yang sangat menendang bathin dan pikiran saya secara luar biasa, idealisme saya di tantang. Kata-kata mereka tadi menancap dalam dalam hati dan pikiran saya. Saya akan buktikan bahwa saya bisa menjadi cita-cita saya. Saya yakin cita-cita saya baik dan tidak merugikan siapapun. Semoga jalan saya dimudahkan......yaaa, terimakasih untuk pewawancara. Terimakasih telah menyadarkan saya tentang hal yang selama ini saya lupakan. Saya akan belajar............
Allah....Alhamdulillah untuk pelajaran sore ini. Semoga ini memang petunjuk-Mu yang merupakan arahan dari-Mu agar aku menjadi lebih baik. Terimakasih..^^

Rabu, 15 Februari 2012

GW GALAU

SOMETHING yang ga enak tiba-tiba MUNCUL....
APAKAH GUE TAKUT??
NO..................GA BOLEH. HANYA LOSER yang takut sebelum PERANG. Dan gue BUKAN GOLONGAN ITU..............

Selasa, 14 Februari 2012

Prioritas

Sebagai kawula muda yang tengah bersemangat, tentunya kita memiliki banyak rencana serta target tentang pencapaian yang ingin kita peroleh dari waktu ke waktu. Semuanya telah terdaftar dengan rapi dan terlihat sama pentingnya. Semuanya berada di dereten pertama, ya karena hal itu benar-benar kita inginkan. Untuk pencapaian target-target tersebut pastinya kita harus melalui tahapan-tahapan yang mungkin tidak mudah. Butuh waktu, tenaga, cara, strategi serta kebutuhan lainnya. Meskipun kita sadar bahwa semuanya butuh proses, ga jarang kita berpikiran serta mengahrapkan semua target-target tersebut bisa tercapai dalam waktu yang singkat. Padahal kita tau, semuanya bukanlah hal yang gampang, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada baiknya dalam penyusunan target-target serta pencapaian tersebut kita harus berpikir lebih realistis dan tidak hanya mengutamakan ego semata. Siapa sih yang tidak mau semua harapan serta tujuannya tercapai dalam waktu yang singkat? Pastinya semua mengharapkan hal yang sama. Tapi secara realita, itu bukanlah yang mungkin. Kita butuh proses dan waktu. Makanya, dalam hal ini kita perlu menentukan prioritas. Yaa, kita perlu menyusun serta merentang prioritas dari masing-masing tujuan tersebut mulai dari yang major ke yang mikro. Ini artinya, apabila kita dihadapkan pada situasi yang dimana kita harus menghendel semua hal yang kita butuhkan itu kita bisa memilih sesuai dengan yang lebih tinggi prioritasnya. Karena, kita bukanlah makhluk luar biasa yang mampu melakukan semuanya dengan mudah seolah hanya kedipan mata. Yaa.....prioritas. Kita perlu merangking setiap rencana dan target dengan skala prioritas yang tepat agar dalam proses pencapaiannya kita bisa lebih terarah dan tidak menyampur baurkan tanpa dasar yang nantinya malah berakibat kita tidak mencapai apa-apa, karena tidak ada yang kita lakukan dengan maksimal.
Semangat....your dreams are on your hand..Your future is depens on you:D

Gelisah itu sirna

Detak tak beraturan itu perlahan berkurang....
Kegelisahan itu menjauh...
Bayangan baru yang sempat menari liar itu mulai kabur...
Lintasan nama itu tak lagi acap kulihat...
Yaaa........kosong itu datang lagi...
Beban yang sempat kurasa seolah menguap...
Kosong tapi bukan hampa..
Kosong yang memberiku ketenangan..
Meski sisa nama itu tetap ada...
Tapi semua kejanggalan itu seolah sirna...
Berganti dengan semua kebiasaan yang memang seharusnya ada..
Tuhaaan...........terimakasih..
Mungkin memang ini jawaban dari tanyaku...
Jawaba dari-Mu telah ku dapat..
Mungkin insan itu memang belum rahmat yang engkau pilihkan untukku..
Yaa,,,,dia perlahan sudah menjauh...
Terasa berjarak tertarik jaman..
Terima kasih Tuhan....
Tetap lah jaga aku dalam kedamaian seperti ini....
Aku selalu menunggu rahmat-Mu yang pasti akan datang dalam masa yang tepat...

Antara Tegas dan Keras

Ketegasan adalah konteks yang tidak asing lagi di ranah leadership. Bicara tentang kepemimpinan kita terus ditarik kedalam prinsip-prinsip utama kepemimpinan, salah satunya mengenai ketegasan. Menyinggung tentang ketegasan, saya sendiri mungkin paham tentang makna dari kata tegas itu. Saya bisa paham pendefinisian ketegasan itu. Namun apabila sudah memasuki ranah penerapannya dalam situasi nyata, saya bingung. Saya bingung untuk mengetahui tegas itu batasannya seberapa. Setiap kali mengambil keputusan, pasti yang terlintas dibenak saya tentang ketegasan, Yaa, bagaimana saya harus tegas dalam menyikapi setiap keadaan yang harus saya putuskan. Tapi yang menjadi masalah, disaat kita ingin mendasarkan pengambilan keputusan seringkali hal toleransi menjdi pengiring. Hal ini menyebabkan benteng bahkan batasan yang saya buat sendiri sudah otomatis terlanggar oleh beberapa alasan. Lalu apakah dalam konteks seperti ini  saya tidak tegas??  Tapi bagaimana mungkin saya terus memaksakan suatu keadaan sementara disisi lain hal itu perlu dikesampingkan oleh adanya situasi yang lebih urgent. Jujur, hal ini membuat saya dilema tentang ketegasan dan konsistensi. Yang paling mendasar disini adalah saya perlu tau batasan konsistensi dan ketegasan itu seberapa. Jangan sampai karena ingin memegang prinsip tegas dan konsisten kita menjdi keras. Namun apabila terlalu fleksibel itupun membuat kita tidak jelas dan seolah-olah tidak memiliki prinsip.

Minggu, 12 Februari 2012

^>>>>>>>>^

Kurasakan lagi hal yang sama, sesuatu yang pernah aku rasa bertahun yang lalu..
Tuhan...ku rasa hatiku gelisah....
Kurasakan kembali sebuah gambaran wajah yang menari-nari di benakku...
Sebuah nama yang mulai terlintas dalam pikiranku..
Tuhan.....kau tahu hatiku...
Hal apa ini?
Aku masih takut.....Kau tau hal apa yang aku takuti...
Tuhan....bantu aku, tolong aku....
Benarkah insan ini baik untukku??
Aku tidak yakin.....
Aku belum siap........aku terlalu nyaman dengan kesendirianku...
Aku masih nyaman dengan kebebasan,
Nyaman dengan tanpa hati dan pikiranku mengikat pada satu insan...
Tuhan......mungkinkah ini rahmat dari mu?
Aku ini kah ujian untukku....??
Memang....sepertinya aku masih belum siap.....aku belum siap untuk berbagi hati....
Tuhan..................
Tenangkan hatiku....jauhkan lah kegelisahan ini...
Aku tak ingin gundah......aku ingin gundah ini berlalu...
Tunjukkan aku pilihanmu segera.....
Jika memang insan ini baik untukku biarkan dia mengisi hatiku dengan cara yang baik pula....
Jangan biarkan dia menjelma jadi racun dalam pikiranku...
Jika insan ini tidak baik untukku....
Jauhkan dia secepatnya dari aku......jaga hatiku darinya....
Beri tahu aku kebenaran dan petunjukmu Tuhan..
Aku takut terjebak lebih dalam.....
Izinkan rahmat mu itu datang dan memasuki hatiku dengan cara dan waktu yang baik....
Jangan jadikan rahmat itu ujian bagiku......
Tolong aku Tuhan...
Tolong aku menjaga sukma ini.....
Hindarkan aku dari hal-hal bodoh yang menjajah logika dan hatiku sendiri....

'yaazhou'

Jumat, 10 Februari 2012

Awalku mengenal mimpi (udah di Edit dengan jasa Ikha)

Aku ingat masa dimana aku masih seorang gadis belia berusia belum genap 5 tahun. Aku hanya lah anak kecil yang tau bagaimana tertawa riang, menangis dan berlari kesana kemari dengan tawa lepas khas anak di usia itu. Aku belum mempunyai mimpi. Aku belum memiliki rencana apa-apa untuk waktu yang akan kulalui kedepan. Bahkan untuk sekedar tau apa itu mimpi dan masa depan pun aku belumlah mengerti, apalagi memikirkannya. Ya, yang aku tau aku memiliki keluarga, memiliki saudara dan semua hal biasa yang hadir disekelilingku. Semua berjalan begitu cepat hingga tanpa terasa aku sudah duduk di bangku kelas satu SD. Masih ku ingat dengan jelas akan masa itu, hari sabtu pagi yang belum terlalu terik, mungkin waktu itu jarum jam masih terhenti diangka 10 yang dipadu dengan angka 12. Aku berjalan gontai melewati lorong sekolah yang waktu itu aku rasa sangat lebar, mungkin karna tubuhku yang masih begitu mungil. Langkah kakiku begitu lemah, dengan raut wajah cemberut yang dipulas dengan bulir-bulir air yang mengenang perlahan dari pengamatku. Entah rasa apa yang waktu itu mengisi hatiku. Yang aku tau, pagi itu ada rasa tidak senang menyeruak di dada ini. Aku berlari hingga sampai di depan kedua kakakku. Masa itu aku masih lucu-lucunya. Berangkat sekolah dengan pita merah menggantung di kedua kucir rambut kiri dan kanakku. Indah sekali melihat kucir itu melompat riang mengiringi tiap langkah kecilku. Aku terdiam dipelukan kakak-kakakku. Mereka bingung sembari saling melontarkan pandang, kemudian meraka tersenyum ke arahku. Aku tak tau apa maksud senyum itu. Kakakku yang paling tua pun bertanya,"ica dek aa?kok anok se??caliak uni rapornyo", Kakakku menyapaku lembut, seperti apa yang biasa dia lakukan padaku. Tangisku pun pecah sudah. Dipangkuannya aku terisak. Kakakku yang kedua mengusap lebut rambutku, berusaha meredam tangisku. Seketika jalanan didepan gerbang sekolah mulai ramai dengan anak-anak yang berlarian ke arah ayah ibunya yang menunggu kedatangan putra putrinya dengan rapor yang tergegam erat di tangan masing-masing di antara mereka. Tawa riang teman-teman sebayaku sesama kelas satu terdengar jelas ditelingaku. Sontak, teman-teman sebaya kakakku pun mulai berkerubung ke arahku. Membentuk lingkaran, seperti itulah yang mereka lakukan. Aku bak artis dadakan di waktu itu. Semua pasang mata tertuju pada kami bertiga. Banyak tanya yang ditujukan kepada kakakku. Kakakku bingung harus menjawab apa. Karena sejujurnya dia pun juga belum paham sebab apa aku menangis. Teman sebangkuku, Yuli dari tadi setia mematung menunggu aku yang tengah menangis tanpa alasan. Kakak-kakakku hanya cengengesan menjawab tanya teman-temannya yang datang sambung menyambung dari mulut ke mulut. Tiba-tiba aku terdiam. Menghapus air mataku sendiri. Kemudian tersenyum kepada kedua kakakku, benar-benar aneh bocah yang pada waktu itu kerap disapa ica. Kedua kakakku pun tersenyum. Kemudian mereka bertanya, "ica dek aa??kok nangih?caliak uni rapornyo?". Aku enggan memperlihatkan rapor pertamaku, aku merasa malu karena tidak ada angka yang patut di lihat di raporku. Aku merasa bodoh saat aku melihat rapor temanku, Yuli. Ada angka bagus singgah di rapornya, angka yang ada dua bulat telur. Ya, angka delapan maksudku. Yuli begitu senang, raut wajahnya sangat ceria membuat aku semakin terenyuh dengan kenyataan bahwa tidak ada angka dua bulat telur bertumpuk di raporku. Jangankan dua bulat telur, satupun tak ku temui di lembar nilaiku itu. Masih dengan ragu serta berat hati aku memberikan rapor pertamaku sambil berucap,"ica nio angko lapan lo,,,tapi ica dak ado do,huhuhuhuhu", tangis ku mulai berderai lagi. Kakakku dengan cepat menyambar raporku, membuka lembaran hasil belajar triwulan pertamaku di SDN 17 Sungai Rotan. Tiba-tiba senyum merekah di wajah mereka, senyum yang manis sekali, hangat dan penuh semangat. Seolah ada tatapan bangga yang tersirat pada kedua bola mata mereka. Bagaimana bisa, dtengah sedihku tidak mendapat angka bulat telur, mereka tersenyum begitu hangat kepadaku. Aku mengernyitkan alisku, "ica dak ado dapek nilai do.ica nio lo dapek lapan''. Kakakku yang paling tua mendekat lalu dengan halus dia mengusap hangat kepala ku. Kemudian dia kembali membuka raporku, membuka lembar triwulan pertamaku. Ada angka satu disitu, angka lurus seperti tiang yang ada sedikit topi di puncaknya. Kakak ku berkata lembut,''Kok nangih lo ica, iko kan rancak angko ica ko, angko satu. Rancak pado angko lapan lai. Santiang adiak uni yo, ica dapek juara". Aku pun tertegun, terdiam dan kemudian berkata dengan polosnya,"iyo bana tu ni?ica dapek juara", Akupun tersenyum sumringah. Sebenarnya aku masih belum paham, tapi melihat senyum indah di sekitarku membuat aku bersemangat, seolah memperoleh energi ceria dari senyum-senyum tulus itu. Teman-teman kakakku pun tersenyum menggoda ke arahku. Tapi aku tetap hanya anak kelas satu SD yang baru empat bulan di bangku sekolah. Aku menggenggam tangan kedua kakakku, menarik mereka, tak sabar ingin segera tiba dirumah. Temanku, Yuli, aku tak ingat lagi dia dimana, benar-benar aneh aku di masa itu. Setibanya dirumah, papa dan mama sudah menunggu kedatangan ketiga putrinya diruang tamu rumah kami. Kakakku yang paling tua pun sumringah, tersenyum bangga kepada mama papa kami. "Ica juara satu pa”, ucapnya tak sabar untuk memberi tahu tentang apa yang adiknya dapatkan. Senyum terkembang jelas di raut wajah Mama Papaku, senyum bangga dan haru yang tertuju untukku. Mama papa langsung menyambutku, menggoda aku. Hari itu aku tau satu hal, bahwa aku bisa jadi juara. Juara yang bisa membuat saudara dan orang tuaku senang. Hari itu aku baru berpikir tentang hal yang sangat ingin aku dapatkan. Hal yang akan terus aku idamkan di triwulan-triwulan berikutnya. “Aku ingin jadi juara. Ya, aku ingin terus dapat juara”. Itulah kali pertama aku sadar akan mimpi. Mimpiku untuk terus menjadi juara. Benar-benar penutup hari yang indah sabtu itu. "Ica nio taruih dapek juara", batinku.

OPINI KU (Masalah Sosial Negara Ini)

Aspek sosial adalah indikator yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan
manusia. Dalam menjalani kehidupan, semua segi berkaitan erat dengan sosial.
Akibatnya, masalah umum yang dihadapi oleh masyarakat juga berkaitan dengan aspek
sosial. Mungkin masalah dalam kehidupan memang hal yang lumrah, tapi masalah sosial
yang semakin parah tidak bisa lagi di terima sebagai hal yang biasa. Kita bisa melihat
masalah-masalah tersebut dari berbagai sudut, misalnya segi ekonomi, pendidikan,
budaya,biologis, dan psikologis. Mungkin akan lebih baik jika kita membahas keadaan
yang terjadi di lingkup negara kita, Indonesia.Dari beberapa aspek tersebut yang paling
menyita perhatian saya adalah dari segi ekonomi, pendidikan dan budaya. Tanpa ada
pembahasan khusus, masyarakat sudah paham bagaimana keadaan negara kita dari tiga
aspek tersebut. Aspek-aspek masalah sosial itu ibarat lingkaran, menjadi sebuah bentuk
yang tidak bisa kita tahu berawal dan berakhir dimana. Semua aspek tersebut saling
berkaitan satu sama lain dan memiliki relasi timbal balik yang sangat erat. Berbicara
tentang ekonomi, adalah suatu pemandangan yang miris disaat kita melihat
ketimpangan ekonomi di negara ini. Saya juga tidak menyalahkan siapa-siapa apabila
terjadi perbedaan tingkat ekonomi, tapi apa memang harus dalam keadaan yang seperti
ini?? Kemana para dermawan? Kemana pemerintah? Mana janji pemerintah di pasal 34
UUD 1945? Seandainya masalah ekonomi di negara ini bisa diminimalisir, saya
berpendapat, negara ini juga akan terhindar dari masalah-masalah sosial lainnya.
Karena, sebenarnya masalah-masalah lain itu bermula dari kesulitan ekonomi. Kita tau
bahwa pemetaan masyarakat miskin di negara ini tersebar merata di semua wilayah,
bahkan mungkin di kota-kota besar jauh lebih besar di bandingkan di desa. Saya
menyimpulkan, semiskin-miskinnya mereka yang di desa, kehidupannya tidak sesulit
masyarakat miskin di kota. Kehipan di kota jauh lebih berat di banding di desa. Karena
tuntutan hidup yang semakin berat, kapasitas kebutuhan yang semakin tinggi, tidak bisa
disalahkan apabila mereka mengandalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Dan
masalah pun lebih banyak muncul dikota besar di bandingkan dengan di desa. Kita
bahas simpel saja, kesulitan ekonomi itu berbuntut pada tindakan kriminal, kurangnya
pendidikan, gangguan psikologis, dan berbagai masalah lainnya. Lalu, sudah sejauh apa
masalah-masalah tersebut menggerogoti masyarakat kita??Saya menjawab,”sudah
sampai pada level kritis”. Sedih rasanya apabila kita melihat pemulung mengais-ngais
tempat sampah, berharab bisa menemukan plastik ataupun dus yang bisa dijual, bahkan
tidak jarang di antara mereka yang juga memungut makanan basi di tempat sampah
untuk dimakan. Bisa kita bayangkan akan seperti apa keadaan mereka. Hasil pencarian
mereka seharian hanya dihargai ribuan rupiah, mungkin belasan ribu paling banyak.
Entah penyakit apa saja yang bisa menyerang mereka karena memakan makanan yang
jauh dari pantas untuk di konsumsi.
Masalah pendidikan juga merupakan masalah sosial yang tidak kalah rumitnya di
negara kita. Banyak sekali anak-anak usia sekolah yang terlantar di jalanan, kehidupan
di jalanan yang keras membentuk pola pikiran yang cenderung brutal. Meskipun ada
program pendidikan gratis bagi anak-anak usia sekolah, tapi bisa kita saksikan bahwa
segi pendidikan di negara kita masih jauh dari baik. Banyak anak-anak yang tidak
memperoleh pendidikan yang layak. Meskipun ada program sekolah gratis dari
pemerintah, tapi akses mereka menuju pendidikan itu kadang sangat sulit. Hal ini juga
kembali berhubungan dengan masalah ekonomi. Sebagian keluarga tidak
memprioritaskan pendidikan, pola pikir mereka yang cenderung sempit lebih
mengutamakan materi dibanding pendidikan anaknya yang bermutu. Hal ini tak jarang
berbuntut pada terbatasnya akses sang anak untuk belajar. Mereka di eksploitasi di
usia dini oleh orang tuanya untuk mencari nafkah. Disisi lain, ada anak yang ingin
belajar tetapi sarana dan prasarana yang ada di lingkungannya tidak mendukung. Hal
ini terjadi karena tidak meratanya pengalokasian sistem pendidikan. Hal ini biasanya
terjadi di daerah yang akses transportasinya masih sulit.
Selanjutnya, norma-norma di dalam masyarakat yang sebelumnya ampuh
sebagai pengendali perilaku masyarakat, pada zaman ini sudah banyak diabaikan.
Norma-norma adat dan budaya cenderung menjadi cemooh dan ledekan di tengahtengah
masyarakat. Entah kenapa? Mendasarkan tingkah laku pada nilai-nilai budaya
pada zaman ini seolah-olah terlihat seperti hal memalukan yang harus di tutupi rapatrapat.
Masyarakat lebih nyaman mengikuti nilai-nilai kebebasan yang berkiblat kepada
bangsa barat. Kebudayaan mereka terasa sangat bagus untuk diikuti dan norma budaya
kita pantas ditinggalkan. Masalah seperti itu pun berawal dari minimnya pendidikan
yang mengakibatkan masyarakat sulit untuk membedakan mana yang baik dan tidak.
Sulit untuk menalar tentang hal-hal yng mereka yakini baik untuk diikuti. Masyarakat
cenderung mencontoh tanpa menfilter terlebih dahulu. Dalam pikiran mereka hanya
ada keyakinan bahwa semua hal yang berhubungan dengan budaya barat itu bagus, itu
terlihat modern dan cenderung malu untuk mempertahankan nilai-nilai budaya
alaminya sendiri.
Mengkaji masalah sosial adalah suatu hal yang sangat kompleks. Semua segi
yang jadi masalah itu saling berkaitan membentuk jalinan utuh yang susah di urai.
Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda bangsa ini??Memulai dari halhal
kecil yang bermanfaat dengan tujuan positif pasti akan sangat membantu, meski
tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi perlahan tapi pasti generasi muda
pasti mampu membawa perubahan. Kita mampu membebaskan bangsa ini dari
lingkaran masalah sosial yang menyedihkan.

Selasa, 07 Februari 2012

Penyemangat pagi

Terdengar gemerincing lembut disamping telingaku...
aku terbangun, yaa...ada telpon...
Ku tatap nama penelpon disitu, ada sebongkah kesenangan dihatiku....
Ya, ini telpon dari PAPA ku, salah satu dari dua insan terbaik dalam hidupku....
Hallo Assalammualaikum, aku menjawab...
Terdengar balasan diseberang sana..
Sepaket wejangan pagi pembakar semangat pun aku dapat, tapi bukan perintah...
Aku senang,,aku bahagia...
Betapa kata-kata itu membangkitkan kembali semangatku..
Papa sangat percaya padaku..
Benar-benar luar biasa...
Tiba-tiba ada suara lain, suara yang sangat tidak asing lagi bagiku, yaa MAMA ku..
Mama menyapaku ceria dari seberang situ,
Bercerita senang tentang kegiatannya pagi ini..
Aku riang mendengar cerita itu.....
Benar-benar kedua orang tua ku luar biasa,
Meskipun sudah beberapa bulan aku jauh dari rumah,
tapi aku senang, suasana hangat itu tak pernah sedetikpun terasa jauh..
Aku bersyukur...bahagia dengan keadaan ini..
Harapan yang tak putus-putus dari mereka,agar aku lebih baik ditempat ini...
Aku kembali bersemangat..
Bersemangat untuk diri ku sendiri juga untuk kedua orang tua ku yang sangat hebat itu...
"Aku harus jadi orang sukses disini", bathinku.
Yaaaa...semester ini aku harus ada peningkatan....harus lebih baik.
Terimakasih semangatnya PAPA dan MAMA ku tersayang...
Selamat pagi..^^

Awalku mengenal mimpi

Aku ingat dimasa aku masih seorang gadis belia berusia belum genap 5 tahun. Aku hanya lah anak kecil yang tau bagaimana untuk tertawa riang, menangis dan berlari kesana kemari dengan tawa riang khas anak di usia itu. Aku belum mempunyai mimpi. Aku belum memiliki rencana apa-apa untuk waktu yang akan kulalui kedepan. Yang aku tau, aku memiliki keluarga, memiliki saudara dan semua hal biasa yang ada disekelilingku. Semuanya berjalan begitu cepat hingga tanpa terasa aku sudah menjadi siswa kelas satu SD. Masih ku ingat dengan jelas bahwa masa itu, hari sabtu pagi yang belum terlalu terik, mungkin masih sekitar pukul sepuluh pagi. Aku melangkah melewati lorong sekolah yang waktu itu aku rasa sangat lebar. Aku cemberut. Entah rasa apa yang waktu itu mengisi hatiku. Yang aku tau, pagi itu aku merasa tidak senang. Aku berlari hingga sampai didepan kedua kakak ku. Masa itu aku masih lucu-lucunya. Berangkat sekolah dengan pita merah menggantung di kedua kucir rambut kiri dan kanan kami. Indaj sekali melihat kucir itu melompat riang mengiringi tiap langkah kecilku. Aku terdiam dipelukan kakak-kakakku. Mereka bingung saling pandang,tersenyum kearahku. Aku tak tau maksud senyum itu. Kakakku yang paling tua pun bertanya,"ica dek aa?kok anok se??caliak uni rapornyo",kakakku menyapaku lembut. Akupun menangis.....menangis dipangkuannya. Kakak ku yang kedua mengusap lebut rambutku. berusaha meredam tangisku. Jalanan didepan gerbang sekolahpun semakin ramai dengan anak-anak yang mulai berlarian ke arah ayah ibunya yang menunggu mereka, melihat rapor anaknya di caturwulan pertama tahun ajaran itu. Tawa riang teman-teman sebayaku sesama kelas satu terdengar jelas ditelingaku dijeda tangisku dipelukan kakak. Teman-teman sebaya kakak ku pun mulai berkerubung. Bertanya kenapa aku menangis. Kakakku bingung harus menjawab apa. Karena sejujurnya dia pun juga belum paham sebab apa aku menangis. Teman sebangku,Yuli dari tadi setia mematung menunggu aku yang tengah menangis tanpa alasan. Kakak-kakakku hanya cengengesan menjawab tanya teman-temannya yang datang sambung menyambung dari mulut ke mulut. Tiba-tiba sontak aku terdiam. Menghapus air mataku sendiri. Kemudian tersenyum kepada kedua kakakku, benar-benar aneh bocah yang pada waktu itu disapa ica. Kedua kakakku pun tersenyum. Kemudian mereka bertanya, "ica dek aa??kok nangih?caliak uni rapornyo?". Aku enggan memperlihatkan rapor pertamaku, aku merasa malu. Karena tidak ada angka bagus di raporku. Aku merasa bodoh saat aku melihat rapor temanku Yuli, tadi kami berdua melihat rapor Yuli. Ada angka bagus di rapornya, angka yang ada dua bulat telur, yaa angka delapan maksudku. Yuli sangat senang, raut wajahnya sangat ceria membuat aku semakin terenyuh dengan kenyaan bahwa tidak ada angka bulat telur d raporku. Masih dengan ragu serta berat hati aku memberikan rapor pertamaku sambil berucap,"ica nio angko lapan lo,,,tapi ica dak ado do,huhuhuhuhu", tangis ku sontak berderai lagi. Kakak ku cepat menyambar raporku, membuka lembaran hasil belajar triwulan pertamaku di SDN 17 Sungai Rotan. Tiba-tiba kakak ku tersenyum kepadaku, senyumnya cerah sekali, hangat dan penuh semangat. Seolah ada tatapan bangga dari kedua kakakku kearahku. Aku pun bingung, ditengah sedih ku tidak mendapat angka bulat telur, mereka tersenyum begitu hangat kepadaku. Aku pu kembali merungut, "ica dak ado dapek nilai do.ica nio lo dapek lapan''. Kakak ku yang paling tua kembali mengusap hangat kepala ku. Kembali membuka rapor ku, membuka lembar triwulan pertamaku. Ada angka satu disitu, angka lurus seperti tiang yang ada sedikit topi di puncaknya. Kakak ku berkata lembut,''Kok nangih lo ica, iko kan rancak angko ica ko, angko satu. Rancak pado angko lapan lai. Santiang adiak uni yo, ica dapek juara". Aku pun tertegun, terdiam dan kemudian berkata dengan polosnya,"iyo bana tu ni?ica dapek juara", akupun tersenyum semringah. Sebenarnya aku masih belum paham, tapi melihat senyum indah disekitaku membuat aku bersemangat, seolah memperoleh energi ceria dari senyum-senyum tulus itu. Teman-teman kakakku pun tersenyum menggoda ke arahku. Tapi aku tetap hanya anak kelas satu SD yang baru empat bulan di bangku sekolah. Aku menggenggam tangan  kedua kakakku, menarik mereka, tak sabar ingin segera tiba dirumah. Temanku, Yuli, aku tak ingat lagi dia dimana, benar-benar aneh watakku zaman itu. Tiba dirumah, papa dan mama sudah menunggu kedatangan ketiga putrinya dengan hangat diruang tamu. Kakakku yang paling tua pun sumringah, tersenyum bangga kepada mama papa kami. "Ica juara satu pa, ucapknya tak sabaran untuk memberi tahu tentang adiknya. Mama papa pun lansung sumringah, tersenyum bangga dan haru untuk aku. Mama papa lansung menyambut aku, menggoda aku. Hari  itu aku tau satu hal, bahwa aku bisa jadi juara. Juara yang bisa membuat saudara dan orang tuaku senang, hari itu aku baru berpikir tentang hal yang sangat ingin aku dapatkan. Hal yang akan terus aku idamkan di triwulan-triwulan berikutnya. Aku ingin jadi juara. Yaaa, aku ingin terus dapat juara.Itulah kali pertama aku sadar akan mimpi.Mimpiku untuk terus menjadi juara. Benar-benar hari yang indah sabtu itu. "Ica nio taruih dapek juara", bathinku.